Kamis, 28 Maret 2013

Bisnis Facebooker (Bagus Nandra Utama)

Ingin coba bisnis yang santai, coba segera klik link ini http://bisnisfacebooker.com/?id=bagus_utama dijamin bisa menambah uang jajan Anda. :)

Senin, 16 April 2012

RESTRUKTURISASI, REORGANISASI, DAN LIKUIDASI

Perusahaan mungkin berkembang menjadi korporasi, yaitu perusahaan yang mempunyai banyak unti kegiatan. Unit-unit kegiatan tersebut mungkin merupakan suatu divisi yang relative independen, tetapi mungkin juga merupakan suatu bagian yang hanya sebagai pelaksana keputusan-keputusan. Apaun tingkat kebebasan dari unit-unit tersebut, perusahaan mungkin suatu ketika menghadapi kesulitan dalam mengendalikan unit-unit tersebut. Kesulitan mungkin timbul karena berkaitan dengan jenis usaha yang sangat beraneka ragam, dapat juga karena masalah trade-off antara kecepatan pengambilan keputusan pengendalian. Masalah-masalah ini mungkin menyebabkan korporasi melakukan restrukturisasi.

31.1. Restrukturisasi
Restrukturisasi merupakan kegiatan untuk merubah struktur perusahaan. Dengan demikian, pengertian restrukturisasi sebenarnya dapat dalam artian makin membesar atau makin ramping. Apabila diartikan dalam pengertian yang pertama, maka kegiatan merger dan akuisisi juga merupakan upaya untuk melakukan restrukturisasi. Perusahaan yang melakukan integrasi vertical, jelas melakukan restrukturisasi bisnisnya. Dengan cara tersebut perusahaan dapat mengamankan sumber bahan baku, dan/atau distribusi hasil produksinya.

Sell-off. Korporasi yang mempunyai unit kegiatan yang sangat beraneka ragam, mungkin suatu ketika merasa bahwa diantara unit-unit tersebut ada yang tidak bekerja secara ekonomis. Penyebabnya dapat beraneka ragam. Salah satunya adalah barangkali tingkat kegiatannya terlalu rendah sehingga sulit untuk mencapai economies of scale. Penyebab lainnya mungkin karena bukan berada pada bisnis utama, korporasi kemudian kurang memperhatikan unit tersebut.

Going Private. Beberapa perusahaan berpendapat bahwa go public dinilai membebani perusahaan dan direksi. Mereka berpendapat bahwa biaya untuk listing di suatu bursa dirasa terlalu berat. Keharusan memenuhi berbagai ketentuan dan peraturan badan pengawas pasar  modal dirasa merepotkan dan memberatkan. Direksi kemudian cenderung sangat memperhatikan kinerja keuangan triwulan depan, semester depan, atau paling tahun depan, agar harga saham tidak turun. Dengan demikian perhatian akan laba jangka panjang terabaikan.

Leverage buy-out. Untuk membeli kembali saham-saham yang semula dimiliki oleh para anggota masyarakat, para direksi yang memutuskan akan go private mungkin terpaksa menggunakan bantuan dana pihak ketiga. Apabila cara ini ditempuh, maka dilakukan apa yang disebut dengan leverage buy-out. Ini berarti bahwa saham-saham tersebut dibeli dengan uang pinjaman. Pinjaman tersebut dijamin oleh aktiva dan arus kas perusahaan, sehingga setelah leverage buy-out, perusahaan akan mempunyai hutang yang sangat besar.

31.2. Reorganisasi
Dalam situasi ekonomi dan bisnis yang tidak menggembirakan, perusahaan sering terpaksa harus bertahan dengan apa yang telah ada, atau “memperkecil diri”, agar tidak mengalami kesulitan makin parah. Reorganisasi dalam aspek financial dilakukan untuk memperkecil beban financial yang tetap sifatnya. Dengan demikian asumsinya adalah bahwa perusahaan masih mempunyai kemampuan operasional yang baik. Ini berarti bahwa kegiatan operasi masih mampu menutup biaya-biaya operasi.

31.3. Likuidasi
Likuidasi ditempuh apabila para kreditur berpendapat bahwa prospek perusahaan tidak lagi menguntungkan. Kalaupun ditambah modal, atau merubah kredit menjadi penyertaan, tidak terlihat membaiknya kondisi perusahaan. Dalam keadaan seperti ini para kreditur mungkin lebih menyukai untuk meminta perusahaan dilikuidir.

Kadang-kadang sebelum para kreditur memutuskan untuk meminta perusahaan dilikuidasi, mereka bersedia melakukan penyelesaian sukarela. Dalam hal ini mereka mungkin sepakat untuk menunda tagihan mereka, baik atas bunga maupun pokok pinjaman. Cara ini hanya akan ditempuh kalau para kreditur berpendapat bahwa perusahaan memang masih akan mampu memenuhi kewajiban financial di masa yang akan datang.

Umumnya kesulitan keuangan perusahaan tidaklah datang dalam waktu tiba-tiba, melainkan merupakan cerminan dari serangkaian keputusan yang tidak benar. Kondisi perusahaan yang memburuk Nampak dari perkembangan indicator keuangan dari waktu ke waktu.

Minggu, 15 April 2012

MERGER DAN AKUISISI



Barangkali kegiatan yang memperoleh perhatian besar dari masyarakat adalah pada waktu suatu perusahaan mengambil alih (melakukan akuisisi) perusahaan lain, atau penggabungan (merger atau consolidation) dari dua perusahaan. Perluasan usaha memang dapat dilakukan dengan ekspansi intern (yaitu menambah kapasitas pabrik, menambah unit produksi, menambah divisi baru, dan sebagainya), tetapi juga dapat dilakukan dengan menggabungkan dengan usaha yang telah ada atau membeli perusahaan yang telah ada (akuisisi). Beberapa perusahaan memilih untuk mengakuisisi perusahaan lain dalam mendukung usaha pengembangan mereka.

Akuisisi suatu perusahaan oleh perusahaan yang lain, pada dasarnya merupakan suatu keputusan investasi yang mengandung unsur ketidak-pastian. Karena itu, konsep keuangan tentang keputusan investasi berlaku pula. Diterapkan dalam konteks akuisisi, maka suatu akuisisi dapat dibenarkan secara ekonomi apabila akuisisi tersebut diharapkan akan memberikan NPV yang positip bagi pemegang saham perusahaan yang mengakuisisi. Hanya saja, untuk kasus akuisisi beberapa karakteristik berikut akan membuat keputusan akuisisi mempunyai kekhususan.

30.1. Tiga bentuk dasar akuisisi
Ada tiga prosedur dasar yang dapat dilakukan perusahaan untuk mengambil alih perusahaan lain. Tiga cara tersebut adalah: (1) merger atau konsolidasi, (2) akuisisi saham, dan (3) akuisisi assets.

Merger atau konsolidasi
Istilah merger sering digunakan untuk menunjukkan penggabungan dua perusahaan atau lebih, dan kemudian tinggal nama salah satu perusahaan yang bergabung. Sedangkan consolidation menunjukkan penggabungan dari dua perusahaan atau lebih, dan nama dari perusahaan-perusahaan yang bergabung tersebut hilang, kemudian muncul nama baru dari perusahaan gabungan.

Misalkan PT. A mengambil alih PT. B dalam suatu merger. Pemegang saham PT. B setuju bahwa setiap lembar saham mereka diganti dengan dua lembar saham PT. A. Dengan demikian, setelah merger saham PT. B hilang, dan yang ada hanya saham PT. A. Dalam kasus consolidation, saham PT. A dan B diganti dengan saham PT dengan nama lain (missal PT. C). Karena perbedaan tersebut tidaklah penting untuk maksud-maksud analisis, kita nantinya akan menggunakan istilah merger bagi kedua bentuk penggabungan usaha tersebut.

Akuisisi saham
Cara kedua untuk mengambil alih perusahaan lain adalah membeli saham perusahaan tersebut, baik dibeli secara tunai, ataupun menggantinya dengan sekuritas lain (saham atau obligasi). Kadang-kadang penawaran langsung dilakukan terhadap pemegang saham perusahaan yang akan diambil alih. Apabila perusahaan yang akan diambil alih (missal PT. B) merupakan perusahaan yang telah terdaftar di bursa efek, maka sesuai dengan keputusan BAPEPAM pada tahun 1995, upaya penguasaan terhadap 20% atau lebih saham perusahaan tersebut harus dilakukan dengan tender offer. Dengan cara ini, perusahaan yang akan mengambil alih (missal PT. A) harus mengumumkan di media masa (memasang iklan), menjelaskan bahwa PT. A bermaksud membeli saham PT. B dengan harga tertentu (yang lebih tinggi dari harga pasar), sejumlah lembar saham tertentu. Apabila jumlah lembar saham yang ditawarkan oleh para pemegang saham PT. B melebihi jumlah yang akan dibeli oleh PT. A, maka penjatahan akan dilakukan.

Akuisisi assets
Suatu perusahaan dapat mengakuisisi perusahaan lain dengan jalan membeli aktiva perusahaan tersebut. Cara ini akan menghindarkan perusahaan dari kemungkinan memiliki pemegang saham minoritas, yang dapat terjadi pada peristiwa akuisisi saham. Akuisisi assets dilakukan dengan cara pemindahan hak kepemilikan aktiva-aktiva yang dibeli. Meskipun demikian proses hukum pemindahan aktiva-aktiva tersebut dapat menjadi sangat mahal.

Pengelompokan akuisisi berdasarkan keterkaitan operasi
Para analis keuangan sering mengelompokkan akuisisi ke dalam salah satu dari tiga bentuk berikut ini.

1)    Akuisisi horizontal. Akuisisi ini dilakukan terhadap perusahaan yang mempunyai bisnis atau bidang usaha yang sama. Perusahaan yang mengakuisisi dan yang diakuisisi bersaing untuk memasarkan produk yang mereka tawarkan.
2)    Akuisisi vertical. Akuisisi ini dilakukan terhadap perusahaan yang berada pada tahap proses produksi yang berbeda. Sebagai missal, perusahaan rokok mengakuisisi perusahaan perkebunan tembakau, perusahaan garment  mengakuisisi perusahaan tekstil, dan sebagainya.
3)   Akuisisi konglomerat. Perusahaan yang mengakuisisi dan yang diakuisisi tidak mempunyai keterkaitan operasi. Akuisisi perusahaan yang menghasilkan food-products oleh perusahaan komputer, dapat dikatakan sebagai akuisisi konglomerat.

Akuisisi atau Takeover?
Dua istilah ini sering dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu pengambil-alihan suatu perusahaan oleh pihak lain. Meskipun demikian, sebenarnya akuisisi hanyalah merupakan salah satu cara untuk melakukan takeover. Takeover merupakan istilah umum yang dipergunakan untuk menjelaskan pengambilalihan kendali suatu perusahaan dari sekelompok pemegang saham ke kelompok yang lain.

30.2. Aspek pajak dalam peristiwa akuisisi

Apabila suatu perusahaan mengakuisisi perusahaan lain, transaksi tersebut mungkin terkena pajak mungkin pula tidak. Dalam peristiwa taxable acquisition, pemegang saham dari perusahaan yang diakuisisi diperlakukan sebagai menjual saham yang mereka miliki, dan karenanya akan memperoleh capital gains (yang akan dikenakan pajak) atau loss. Dalam peristiwa akuisisi yang taxable, perusahaan yang mengakuisisi mungkin melakukan revaluasi atas aktiva tetap dari perusahaan yang diakuisisi.

Dalam peristiwa akuisisi yang tax-free, pemegang saham dari perusahaan yang diakuisisi dipandang hanya melakukan pertukaran saham dengan nilai yang sama, sehingga tidak memperoleh capital gains atau loss. Dalam transaksi yang tax-free, aktiva dari perusahaan yang diakuisisi tidak revaluasi.

30.3. Akuntansi untuk akuisisi
Setelah kita memahami bagaimana dampak akuisisi bagi pembayaran pajak, sekarang kita bicarakan bagaimana mencatat peristiwa akuisisi dalam akuntansi. Ada dua perlakuan akuisisi, yaitu dicatat sebagai “pembelian” (purchase) atau sebagai “penggabungan kepentingan” (pooling of interest).

Dicatat sebagai pembelian
Metode ini mencatat kekayaan perusahaan yang diakuisisi pada harga pasar yang wajar (fair market value) pada buku yang melakukan akuisisi. Dengan demikian maka perusahaan yang melakukan akuisisi dapat menentukan harga perolehan yang baru (new cost basis) untuk aktiva-aktiva yang diakuisisi.

Pada metode ini, istilah akuntansu “goodwill” diciptakan. Goodwill merupakan selisih antara harga yang dibayar dengan nilai pasar dengan nilai pasar yang wajar dari aktiva yang diakuisisi.

Dicatat sebagai pooling of interest
Dengan cara pooling of interest, aktiva-aktiva perusahaan baru dinilai sama dengan nilai buku dari perusahaan yang mengakuisisi dan diakuisisi.  

30.4. Motif merger dan akuisisi
Mengapa perusahaan bergabung dengan perusahaan lain, atau membeli perusahaan lain (akuisisi)? Alasan yang sering dikemukakan adalah karena dengan akuisisi perusahaan mampu mencapai pertumbuhan lebih cepat dari pada harus membangun unit usaha sendiri. Meskipun alasan tersebut benar, faktor yang paling mendasari sebenarnya adalah motif ekonomi. Dengan kata lain, kalau kita akan membeli perusahaan lain, maka pembelian tersebut hanya dapat dibenarkan apabila pembelian tersebut menguntungkan kita.

Diperoleh synergy sebagai akibat merger dan akuisisi
Kondisi saling menguntungkan tersebut akan terjadi kalau dari peristiwa akuisisi atau merger tersebut diperoleh synergy. Synergy berarti bahwa nilai gabungan dari kedua perusahaan tersebut lebih besar dari penjumlahan masing-masing nilai perusahaan yang digabungkan. Dalam bahasa yang lebih mudah, synergy adalah situasi pada saat 2 + 2 = 5.

Peningkatan pendapatan
Pendapatan dapat meningkat karena kegiatan pemasaran yang lebih baik, strategic benefits, dan peningkatan daya saing. Pemasaran yang lebih baik dapat terjadi karena pemilihan bentuk dan media promosi yang lebih tepat, memperbaiki system distribusi, dan menyeimbangkan komposisi produk.

Penurunan biaya
Penurunan biaya mungkin dapat terjadi sebagai akibat dari peningkatan unit yang dihasilkan, sehingga menekan biaya rata-rata (economies of scale). Integrasi vertical juga memungkinkan perusahaan menekan biaya, seperti dengan memperoleh biaya bahan baku yang lebih murah, atau menghemat biaya distribusi. Menghilangkan menejemen yang kurang efisien dan penggunaan sumberdaya yang komplementer, juga merupakan sumber-sumber untuk mengurangi biaya.

Penghematan pajak
Manfaat dalam bentuk penghematan pajak dapat diilustrasikan berikut ini. Suatu perusahaan telah menderita rugi sebesar Rp. 10 Milyar. Oleh pemiliknya kemudian perusahaannya dijual dan diperlakukan sebagai penjualan aktiva. Dari penjualan tersebut pemilik mengakui memperoleh capital gains sebesar Rp. 10 milyar, karena aktiva tetap dijual dengan harga Rp. 10 Milyar di atas nilai bukunya. Tetapi perusahaan telah menderita rugi Rp. 10 Milyar, maka gains 10 Milyar tersebut akan tertutup oleh kerugian yang ditanggung sehingga pemilik perusahaan tidak perlu membayar pajak.

Penurunan biaya modal
Penurunan biaya modal dapat terjadi karena biaya emisi mempunyai komponen yang bersifat tetap. Dengan demikian, apabila gabungan perusahaan akan menerbitkan sekuritas, biaya emisinya akan lebih murah sehingga dapat menekan biaya modal perusahaan.

Alasan yang meragukan (dubious)
Disamping alasan-alasan yang diharapkan dapat menimbulkan synergy, kadang-kadang akuisisi dilakukan dengan alasan yang meragukan (dubious). Dua alasan dubious yang sering disebut adalah diversifikasi dan jumlah earnings per share (EPS). Dari konsep CAPM kita mengetahui bahwa diversifikasi tidaklah menimbulkan manfaat, karena pasar akan menentukan nilai perusahaan berdasarkan atas risiko yang tidak bisa dihilangkan dengan diversifikasi. Sedangkan untuk alasan EPS saat ini. Alasan EPS yang dubious terjadi karena analisis dilakukan atas dasar pertimbangan jumlah EPS saat ini.

Minggu, 04 Maret 2012

LIKUIDITAS, STRUKTUR HUTANG DAN NILAI PERUSAHAAN




Berdasarkan tradisi telah dilakukan pemisahan antara aktiva lancar (dan pendanaan jangka pendek) dan aktiva tetap (dan pendanaan jangka panjang). Aktiva Lancar, menurut definisi akuntansi adalah aktiva yang bisa diubah menjadi kas dalam jangka waktu, normalnya satu tahun atau  kurang. Aktiva tetap (aktiva yang “berubah” menjadi kas dalam jangka waktu lebih dari satu tahun), biasanya dimasukkan dalam pembicaraan tentang penganggaran modal (capital budgeting), sedangkan pengaturan tentang pendanaan jangka panjang menyangkut pertimbangan struktur modal.
Pemisahan tersebut tidak menguntungkan, karena cenderung mengaburkan pengaruh berbagai keputusan keuangan terhadap penilaian perusahaan secara keseluruhan. Manajer keuangan umumnya menghabiskan  waktunya untuk mengelola aktiva dan  hutang lancar. Suatu konsentrasi yang berulang-ulang yang seringkali, sebagai akibatnya menghasilkan pendekatan jangka pendek.

Likuiditas dan peranannya
Istilah likuid menunjukkan jumlah uang yang dimiliki dan aktiva yang dirubah menjadi uang. Sering dikatakan bahwa setiap aktiva mempunyai tingkat likuiditas yang berbeda. Kas sendiri per definisi merupakan aktiva yang paling likuid karena sudah berbentuk kas. Untuk aktiva-aktiva lain, likuiditas mempunyai dua dimensi, yaitu (1) waktu yang diperlukan untuk berubah menjadi kas, dan (2) tingkat kepastian yang menyangkut dengan rasio perubahan, atau harga aktiva tersebut.

Likuiditas pada kondisi pasar modal sempurna
Telah kita bicarakan bahwa pada kondisi pasar modal sempurna suatu perusahaan tidak akan dapat merubah nilainya dengan hanya merubah struktur modalnya, merubah kebijakan dividennya, ataupun melakukan diversifikasi investasi. Meskipun pada waktu pembicaraan tentang teori struktur modal pengertian tentang pasar modal yang sempurna telah dijelaskan, berikut diuraikan secara rinci asumsi-asumsi pasar modal yang sempurna. Asumsi-asumsi tersebut adalah:
1.      Costless capital markets. Artinya tidak terdapat biaya transaksi di pasar modal, pemerintah tidak memberlakukan berbagai batasan di pasar modal, dan assets bisa dibagi-bagi secara tidak terbatas sebagai akibat tidak adanya biaya transaksi.
2.      Neutral personal taxes. Hal ini berarti bahwa tidak terdapat personal taxes, atau tarif personal taxes tersebut sama untuk semua sumber penghasilan.
3.      Competitive markets. Pasar sangat bersaing, terdapat sangat banyak pelaku pasar, dan sangat banyak instrument keuangan, sehingga semua pemodal bersikap sebagai price taker.
4.      Equal access. Para pemodal dan perusahaan dapat meminjamkan dan menerbitkan claims dengan persyaratan yang sama.
5.      Homogeneous expectations. Semua pihak mempunyai pengharapan yang sama.
6.      No information costs
7.   No financial distress costs. Hal ini berarti bahwa kalau perusahaan bangkrut, semua aktiva dapat dijual sesuai dengan nilai ekonomi aktiva tersebut.
8.      Salability of tax losses. Semua pemodal dan perusahaan dapat “menjual” kerugian untuk kepentingan perhitungan pajak pada waktu-waktu yang akan datang.

Manajemen likuiditas dengan adanya ketidak-sempurnaan pasar
Pada waktu kita membicarakan tentang teori struktur modal, maka apabila dipertimbangkan adanya factor ketidak-sempurnaan pasar, maka keharusan untuk memenuhi kewajiban financial yang memaksa perusahaan menjual aktiva yang dimiliki, memungkinkan perusahaan menanggung biaya kebangkrutan. Biaya ini dapat berasal dari distress price, kehilangan produktivitas Karena perusahaan dinyatakan bangkrut, maupun biaya yang sifatnya out-of-pocket, seperti biaya para lawyers, panitia kebangkrutan, dan sebagainya.
Mengupayakan agar kebangkrutan menjadi makin kecil untuk saat ini dan di masa yang akan datang, akan memberikan manfaat bagi pemegang saham yang pada akhirnya menanggung resiko ini.

Piutang dan persediaan
Investasi pada piutang dan persediaan dapat dan seharusnya dinilai dengan menggunakan perspektif yang sama dengan investasi pada aktiva tetap, yang telah dibicarakan pada bagian III, sewaktu kita membicarakan investasi pada aktiva tetap, sangat mungkin bahwa investasi tersebut juga mempunyai komponen piutang dan persediaan. 

Analisis dalam lingkup pasar
Apabila pendekatan pasar dipergunakan untuk menilai investasi yang beresiko, suatu paket investasi (yaitu investasi yang memerlukan investasi pada aktiva tetap, penambahan piutang dan persediaan) dapat dinilai dengan menggunakan model-model penilaian, seperti CAPM atau APT.

Pengaruh ketidak-sempurnaan
Pertanyaan utama dalam situasi pasar modal yang tidak sempurna adalah, apakah pemodal berkepentingan dengan risiko total ataukah hanya risiko sistematis? CAPM atau APT berpendapat bahwa hanya risiko sistematislah yang relevan (yang diukur dengan β), karena risiko tidak sistematis akan hilang (paling tidak berkurang) dengan diversifikasi.
Van Horne (1995) berargumentasi bahwa apabila kita menggunakan pendekatan CAPM atau APT untuk investasi pada aktiva tetap, maka pendekatan tersebut tentunya juga dapat dipergunakan untuk menilai investasi pada persediaan (dan juga piutang). Hal tersebut disebabkan karena investasi pada aktiva tetap mungkin mempunyai ketidak-sempurnaan pasar yang lebih besar dari pada investasi pada persediaan atau piutang.


Struktur hutang 
Struktur hutang menjelaskan komposisi jangka waktu hutang yang dipergunakan oleh perusahaan. Dengan kata lain, bagaimana komposisi hutang jangka pendek dan hutang jangka panjang yang dipergunakan perusahaan. Diantara kelompok hutang jangka pendek ini, terdapat kelompok hutang yang merupakan variable keputusan pasif.
Disamping sumber dana yang bersifat spontan (variable keputusan pasif), komponen hutang lancar lain juga ada yang bersifat keputusan aktif. Seperti misalnya hutang bank. Perusahaan harus menentukan berapa banyak hutang akan ditarik, berapa lama jangka waktu hutang tersebut, bagaimana dengan masalah agunan kredit tersebut, dan sebagainya. Dengan kata lain, perusahaan harus secara aktif mencari dan mendapatkan sumber dana tersebut.
Dalam situasi pasar modal sempurna, maka penggunaan hutang jangka pendek atau hutang jangka panjang akan membawa dampak yang sama bagi nilai perusahaan. Dengan kata lain, pemilihan jangka waktu hutang menjadi tidak relevan dalam situasi pasar modal yang sempurna, karena semua kewajiban keuangan perusahaan akan mempunyai biaya yang sama dengan menggunakan dasar ekuivalen kepastian. 
Apabila pasar modal ternyata tidak sempurna, maka kewajiban financial yang berbeda mungkin mempunyai biaya ekuivalen yang berbeda. Semakin pendek jangka waktu kewajiban financial, semakin besar kemungkinan harus memperpanjang, semakin besar biaya perpanjangan yang harus dikeluarkan, dan kemungkinan mengalami kesulitan keuangan (dan menanggung biaya kebangkrutan)

Implikasi terhadap modal kerja
Seringkali modal kerja diartikan sebagai selisih antara aktiva lancar dengan kewajiban lancar. Apabila pengertian ini yang dipergunakan , maka sebenarnya jumlah modal kerja yang dimiliki perusahaan akan tergantung pada kebijakan yang menyangkut aktiva lancar dan pendanaan spontan. Ilustrasi berikut ini mungkin dapat memperjelas pernyataan tersebut.  Apabila perusahaan menentukan kebijakan penjualan kredit dengan jangka waktu 3 bulan, maka dapat diharapkan bahwa besarnya saldo rata-rata piutang akan sebesar 3/12 kali penjualan dalam satu tahun. Jadi apabila penjualan dalam satu tahun diharapkan sebesar Rp. 120 juta, maka rata-rata piutangnya akan menjadi sebesar Rp. 30 juta. Dengan demikian apabila penjualan diharapkan akan naik menjadi Rp. 150 juta, maka rata-rata piutang akan diharapkan menjadi Rp. 37,5 juta. Besar kecilnya saldo piutang ini akan tergantung pada kebijakan penjualan kreditnya.
Hal yang sama berlaku untuk persediaan. Apabila perusahaan menentukan kebijakan persediaan bahan mentah adalah sebesar 20 hari kebutuhan produksi, maka rata-rata persediaan akan meningkat apabila rencana produksi meningkat. Sekali lagi besarnya komponen aktiva lancar ini akan dipengaruhi oleh keputusan pada bidang yang lain.
Akhirnya, besar kecilnya saldo aktiva likuid akan dipengaruhi oleh kemungkinan perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban finansialnya, berapa costs sebagai akibat default tersebut, dan berapa opportunity costs untuk memiliki aktiva likuid yang lebih besar.

Minggu, 04 Desember 2011

KEBIJAKAN MONETER DAN PERBANKAN INDONESIA


Bab      3
 



PENDAHULUAN
Kebijakan moneter sebagai salah satu bagian dari kebijakan ekonomi makro pada dasarnya merupakan kebijakan pengendalian jumlah uang beredar agar sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan dalam suatu sistem perekonomian. Melalui pengendalian jumlah uang beredar tersebut diharapkan dapat dicapai suatu tingkat pertumbuhan ekonomi tanpa menyebabkan terjadinya inflasi akibat bertambahnya jumlah uang yang beredar yang mendorong permintaan barang-barang atau disebut demand pull inflation.
Sasaran kebijakan moneter yang ingin dicapai oleh otoritas moneter di Indonesia pada prinsipnya adalah pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga dan tingkat bunga, dan keseimbangan neraca pembayaran serta untuk mencapai pemenuhan kesempatan kerja. Perencanaan moneter tersebut dibuat Bank Indonesia dalam bentuk program moneter yang pada dasarnya merupakan perencanaan jumlah uang yang akan beredar pada periode tertentu atas dasar asumsi-asumsi tertentu. Program moneter tersebut memberikan kerangka dasar mengenai rencana yang perlu dicapai oleh Bank Indonesia dalam pelaksanaan tugas pengendalian moneternya. Selanjutnya berdasarkan program moneter tersebut dilakukan pemantauan secara terus menerus terhadap perkembangan besar-besaran moneter yang dijadikan target. Bank Indonesia secara rutin mengeluarkan Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia baik secara mingguan maupun bulanan disamping Laporan Tahunan Bank Indonesia. Laporan statistik tersebut memberikan informasi mengenai posisi antara lain sebagai berikut:
a)      Neraca otoritas moneter
b)      Jumlah uang beredar
c)      Neraca gabungan perbankan
d)      Posisi likuidasi perbankan
e)      Kegiatan mobilisasi dana masyarakat
f)       Posisi kredit perbankan
g)      Suku bunga
h)      Pasar uang dan modal
i)        Keuangan pemerintah
j)        Neraca pembayaran
k)      Produk domestik bruto
l)        Jumlah penanaman modal dalam dan luar negeri
m)    Indeks harga
n)      Indikator ekonomi dan moneter internasional
Selanjutnya dari kegiatan pemantauan dapat diketahui apaka  target besar-besaran moneter tersebut dapat dicapai, kurang dari yang ditargetkan atau bahkan telah melampaui.

KONSEP UANG BEREDAR DAN PENGENDALIANNYA
Pengertian uang beredar yang umum digunakan di Indonesia dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu uang beredar dalam arti sempit atau disebut juga narrow money (M1) dan uang beredar dalam arti luas atau broad money (M2). M1 terdiri atas uang kartal yang beredar di masyarakat (tidak termasuk uang kartal yang ada di bank) ditambah dengan uang giral. M2 merupakan penjumlahan dari M1 ditambah tabungan dan deposito berjangka atau disebut juga uang kuasi (quasi money).
Strategi pengendalian uang beredar dirumuskan berdasarkan penyesuaian instrumen kebijakan moneter antara lain operasi pasar terbuka, penyesuaian ketentuan likuiditas wajib minimum (reserve requirement), fasilitas diskonto. Di negara-negara industri, pengendalian uang beredar dilakukan dengan menggunakan besaran moneter seperti jumlah uang beredar atau tingkat bunga jangka panjang sebagai target antara (intermediate target).
Permasalahan yang krusial atas penggunaan strategi pengendalian moneter antara lain adalah memilih besaran moneter yang ada, target antara mana yang bisa digunakan dalam pengendalian moneter dimasa yang akan datang dalam situasi yang penuh ketidak pastian. Agregat atau besaran-besaran moneter yang mungkin dapat dipertimbangkan untuk dipilih sebagai target antara dapat digolongkan dalam dua kelompok yaitu:
a)      Jumlah uang beredar, kredit perbankan, uang primer (likuiditas wajib perbankan dan digolongkan sebagai M0), deposito atau disebut monetary target, dsb
b)      Penghasilan yang diperoleh dari agregat moneter seperti tingkat uang pinjaman bank atau surat berharga pemerintah.
Sementara itu, di Indonesia sejak digunakannya target antara dalam pengendalian moneter maka variabel agregat moneter yang digunakan adalah jumlah uang beredar meliputi uang primer (M0), M1 dan M2. Alasan kenapa jumlah uang beredar lebih disukai dari suku bunga jangka panjang sebagai target atara didasarkan pada alasan historis.

KEBIJAKAN PENGENDALIAN UANG BEREDAR
Strategi pengendalian moneter sebelum dan setelah era deregulasi (1983) pada prinsipnya tidak bberbeda dengan cara pengendalian sebelum deregulasi dalam arti bahwa kebijakan pengendalian moneter didasarkan pada penggunaan target moneter sebagai target antara. Namun diantara kedua cara pengendalian tersebut terdapat beberapa perbedaan dalam pelaksanaannya meliputi antara lain:
Target moneter. Dalam kurun waktu sebelum deregulasi 1983, target utama yang digunakan adalah broad money yaitu jumlah uang beredar dalam arti luas (M2). Sementara setelah deregulasi, target antara yang digunakan tidak hanya M2 tapi juga narrow money yaitu uang beredar dalam arti sempit (M1).
Target operasional yaitu suatu besaran yang memiliki hubungan dengan target antara. Sebelum deregulasi target operasional yang digunakan adalah aktiva domestik netto perbankan atau sering juga disebut total kredit perbankan. Sementara setelah deregulasi target operasional yang digunakan adalah agregat cadangan atau tingkat bunga jangka pendek.
Pencapaian target operasional. Sebelum deregulasi pengendalian moneter dilakukan secara langsung di mana target operasional ditentukan secara administratif. Instrumen kebijakan moneter yang digunakan meliputi pagu atau ceiling kredit, pagu tingkat buga, alokasi kredit terutama pada sektor-sektor yang berprioritas tinggi.

INSTRUMEN KEBIJAKAN MONETER
Sebelum terjadinya krisis ekonomi yang diawali dari krisis rupiah yang terjadi pada pertengahan 1997 kemudian diikuti dengan krisis moneter dan segera menjadi krisis ekonomi sejak akhir 1997, perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir apabila diamati terlihat semakin meningkatnya kepercayaan terhadap kestabilan ekonomi makro. Indikasi tersebut dapat tercermin dari semakin terintegrasinya perekonomian Indonesia dengan perekonomian dunia yang dibarengi dengan semakin meningkatnya aliran masuk modal asing.
Kegiatan ekonomi Indonesia dalam tahun 1996 juga masih cukup kuat. Masih kuatnya kegiatan ekonomi domestik ini juga akan mendorong tetap tingginya permintaan masyarakat terhadap likuiditas. Keadaan ini apabila tidak dikendalikan secara hati-hati akan menghasilkan pertumbuhan besar-besaran moneter yang tetap tinggi yang apabila dibiarkan akan menyebabkan tekanan-tekanan pada harga dan neraca pembayaran.
Dalam kondisi ekonomi yang semakin kompleks pengendalian moneter tidak cukup dilakukan hanya dengan satu atau dua instrumen saja. Berbagai instrumen kebijakan moneter yang digunakan Bank Indonesia untuk mempengaruhi besar-besaran moneter antara lain sebagai berikut:

Operasi pasar terbuka. Ini dilakukan melalui penjualan dan pembelian surat berharga SBI dan SBPU. Untuk lebih mengefektifkan operasi pasar terbuka ini, Bank Indonesia telah mengembangkan kedua instrumen tersebut dengan menambahkan fasilitas repurchase agreement (repo) ke masing-masing instrumen sehingga saat ini dikenal SBI repo dan SBPU repo.

Fasilitas diskonto. Fasilitas diskonto ini disediakan bagi bank-bank dalam rangka memperlancar pengaturan likuiditas sehari-hari, khususnya bank yang menghadapi maturity mismatch antara penanam dan pendananya. Fasilitas diskonto dilakukan dengan cara penjualan surat berharga repo atau penjaminan surat berharga. Surat berharga yang dewasa ini dapat dipergunakan adalah SBI dan atau SBPU yang diendos oleh bank lain.

Giro Wajib Minimum (GWM). Untuk pertama kalinya sejak Pakto 1988 Bank Indonesia menggunakan GWM untuk mengerem pertumbuhan besar-besaran moneter yang masih tinggi yaitu dengan menetapkan GWM menjadi 3% pada Februari 1996 (ketentuan likuiditas wajib minimum sebelumnya menurut Pakto 1988 adalah 2%). GWM pada dasarnya adalah sejumlah minimum dana yang harus selalu tersedia pada saldo giro setiap bank pada Bank Indonesia. Keharusan menyediakan sejumlah minimum dana ini juga disebut likuiditas wajib minimum (statutory reserve requirement) yang saat ini sebesar 5% dari dana pihak ketiga yang dihimpun berlaku sejak April 1997.

Persuasi moral. Kebijakan ini dilakukan oleh Bank Indonesia dengan meminta atau mengimbau bank-bank untuk selalu mempertimbangkan kondisi makro ekonomi maupun kondisi mikro masing-masing bank dalam menyusun rencana ekspansi kredit yang realitas. Kebijakan persuasi moral atau moral suasion ini pada dasarnya dimaksudkan untuk mendorong perbankan agar senantiasa menerapkan prinsip kehati-hatian dalam memberikan kredit, namun dengan tetap memberikan kebebasan bagi perbankan untuk tumbuh dan berkembang berdasarkan mekanisme pasar.

KEBIJAKAN MONETER DAN PERBANKAN
Perkembangan moneter dan perbankan di Indonesia sejak orde baru pada dasarnya dapat digolongkan dalam 3 periode, yaitu:

Periode stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Kebijakan moneter dan perbankan pada periode stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi di awal orde baru pada dasarnya untuk mengatasi kondisi ekonomi yang sangat memprihatinkan saat itu. meskipun tidak ada angka inflasi yang pasti dan disepakati namun berbagai pengamat memperkirakan tingkat inflasi berkisar 650% pertahun, suatu angka yang fantastis dibandingkan dengan kondisi perekonomian negara-negara tetangga saat itu. Untuk menghambat laju inflasi tersebut pemerintah mengupayakan pengendalian tingkat inflasi kebatas yang lebih aman, meningkatkan ekspor, dan mencukupkan sandang bagi masyarakat. Dalam rangka mengendalikan inflasi diambil dua kebijakan pokok. Pertama mengubah kebijakan anggaran defisit menjadi anggaran berimbang. Kedua, menjalankan kebijakan kredit yang sangat ketat dan kualitatif. Pada periode ini pula pemerintah, sebagai bagian dari penataan kembali ekonomi, dilakukan pula penataan sistem perbankan dengan mengeluarkan Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan dan Undang-undang No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia.

Periode saat ekonomi ditunjang sektor minyak. Kebijakan pemerintah dalam upaya mobilisasi dana masyarakat sebagai sumber pembiayaan pembangunan disertai dengan penyediaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) yang berbunga rendah memperbesar kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit. Penyediaan KLBI dalam jumlah besar akibat besarnya penerimaan negara dari hasil ekspor minyak pada pertengahan dekade 1970-an yang dikenal dengan istilah “boom minyak”, mendorong tingginya kembali tingkat inflasi. Kebijakan moneter yang ditempuh pada periode boom minyak ini antara lain:
a)      Menetapkan pagu kredit (credit ceiling) dan aktiva lainnya.
b)      Menaikkan bunga kredit.
c)      Menaikkan bunga deposito.
d)      Menaikkan ketentuan cadangan likuiditas wajib.

Periode deregulasi perbankan. Memasuki dekade 1980-an ekonomi Indonesia mengalami resesi sebagai da,pak dari resesi dunia. Produk domestik bruto turun drastis menjadi hanya 2,2% dibandingkan rata-rata 7,7% pada tahun-tahun sebelumnya, bahkan pernah mencapai 9,9% pada tahun 1980. Sementara itu, neraca pembayaran terus meburuk dan bahkan terjadi defisit sebesar USD 1,930 juta pada tahun 1982. Untuk mengatasi kondisi ekonomi yang semakin memburuk tersebut, pemerintah melakukan perubahan kebijakan di bidang ekonomi termasuk moneter dan perbankan. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh pemerintah pada saat itu antara lain:
a)      Penyesuaian nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat pada bulan Maret 1983 dari Rp 700 menjadi Rp 970.
b)      Penjadwalan ulang proyek-proyek yang menggunakan devisa dalam jumlah besar.
c)      Melakukan deregulasi sektor moneter dan perbankan dengan berbagai jenis paket kebijakan.

PENGATURAN BANK DENGAN PRINSIP KEHATI-HATIAN (PRUDENT BANKING)
Struktur pasar keuangan (financial markets) yang sehat ditunjang oleh pelaku pasar yang sehat pula akan membantu berbagai langkah stabilitas ekonomi mencapai sasarannya. Oleh karena itu dibutuhkan pelaku pasar keuangan yang mampu menangkap sinyal-sinyak indikatif yang diisyaratkan otoritas perusahaan. Sejalan dengan itu Bank Indonesia harus terus berupaya meningkatkan profesionalisme pelaku dalam sektor perbankan agar dapat menciptakan bankir yang tangguh dan profesional. Melihat jumlah kantor bank yang semakin bertambah, Bank Indonesia jelas memiliki keterbatasan dalam melakukan pengawasan. Untuk itu Bank Indonesia mengembangkan pola pembinaan dan pengawasan yang mengarah pada industri perbankan yang mampu mengatur sendiri dalam menerapkan pelaksanaan prinsip kehati-hatian.

PENILAIAN AKTIVA PRODUKTIF
Aktiva produktif atau earning assets perbankan yang dilakukan penilaian adalah mengenai kualitasnya yang meliputi penanaman dana, baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing, dalam bentuk kredit dan surat berharga. Dalam rangka melakukan monitoring terhadap kinerja kegiatan bank terutama disisi aktivanya, berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/267/KEP/DIR tanggal 27 Februari 1998 menetapkan suatu ketentuan yang berkaitan dengan penilaian terhadap penanaman dana bank dalam bentuk aktiva produktif.

LIKUIDASI BANK
Likuidasi adalah tindakan pemberesan berupa penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank sebagai akibat pembubaran badan hukum bank. Likuidasi bank dilakukan dengan cara pencairan harta dan atau penagihan piutang kepada para debitur, diikuti dengan pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dan hasil pencairan dan atau penagihan tersebut.
Ketentuan likuidasi bank diatur dalam Pasal 37 UU No. 10 Tahun 1998. Menurut ketentuan bahwa dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, dan atau membahayakan sistem perbankan, Bank Indonesia dapat melakukan beberapa tindakan yang dipandang perlu.
Suatu bank dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia, kondisi usaha bank semakin memburuk, antara lain ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas serta pengelolaan bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan prinsip-prinsip perbankan yang sehat. Sedangkan bank yang diperkirakan membahayakan sistem perbankan adalah apabila tingkat kesulitan yang dialami dalam melakukan kegiatan usaha bank tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada bank lain, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan dampak berantai kepada bank-bank lain.

KONDISI PERBANKAN ERA KRISIS MONETER
Tahun 1997/1998 merupakan tahun yang terberat dalam tiga puluh tahun pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia. Diawali oleh krisis nilai tukar yang terjadi pada tahun 1997. Sejak itu, kinerja perekonomian Indonesia menurun tajam dan berubah menjadi krisis yang berkepanjangan di berbagai bidang. Proses penyebaran krisis berkembang cepat mengingat tingginya keterbukaan perekonomian Indonesia dan ketergantungan pada sektor luar negeri yang cukup besar. Krisis tersebut berkembang semakin parah karena terdapatnya berbagai kelemahan mendasar di dalam perekonomian nasional terutama di tingkat mikro.
Untuk mengatasi krisis yang semakin dalam, pemerintah telah menempuh berbagai upaya. Akan tetapi, upaya-upaya tersebut tidak begitu menunjukkan hasilnya karena adanya krisis kepercayaan terhadap kemampuan pengelolaan dan prospek perekonomian semakin melemah. Dengan semakin parahnya krisis yang terjadi, kegiatan intermediasi di sektor keuangan, terutama perbankan, terganggu sehingga aliran dana untuk membiayai kegiatan investasi dan produksi mengalami berbagai hambatan.
Kelemahan fundamental mikroekonomi juga tercermin pada kerapuhan (fragility) yang terdapat dalam sektor keuangan, khususnya perbankan. Sebagian dari kerapuhan tersebut terkait dengan kondisi makroekonomi yang kurang stabil terutama berupa gejolak nilai tukar rupiah dan tingginya suku bunga. Ketidak stabilan makroekonomi dan respons kebijakan yang diambil pemerintah menyebabkan bank sangat sulit melakukan penilaian yang akurat megenai risiko kredit dan risiko pasar.
Besarnya tekanan arus modal keluar (capital outflow) yang dipicu oleh krisis keuangan di negara-negara tetangga, antara lain misalnya Thailand, telah menyebabkan merosotnya nilai tukar rupiah. Melemahnya nilai tukar rupiah tersebut sangat dipengaruhi oleh permintaan dolar yang semakin besar untuk memenuhi kewajiban utang luar negeri yang segera jatuh tempo, membiayai impor, serta tujuan-tujuan spekulatif terhadap rupiah. Untuk mengatasi krisis tersebut Bank Indonesia telah melakukan berbagai langkah antara lain melebarkan rentang intervensi nilai tukar rupiah terhadap dollar dari 8% menjadi 12% yang disertai intervensi baik di pasar forward maupun spot. Sistem nilai tukar mengambang bebas diterapkan dan intervensi di pasar valuta asing ditingkatkan.
Sebagai langkah awal dalam rangka penyehatan di bidang perbankan, pada tanggal 1 November 1997, setelah dilakukan penelitian dan pemeriksaan yang cermat oleh Bank Indonesia pemerintah kemudian mencabut izin usaha 16 bank yang dinyatakan insolvent. Upaya ini semula dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan kepada perbankan, telah ditanggapi secara negatiif oleh masyarakat berupa penarikan dana secara besar-besaran dan pemindahan dana dari bank yang dianggap kurang sehat ke bank yang sehat. Perkembangan ini menyebabkan sejumlah bank mengalami kesulitan likuiditas, sehingga banyak bank yang melanggar ketentuan Giro Wajib Minimum. Sejumlah bank bahkan mengalami saldo negatif atas rekening gironya di Bank Indonesia. Untuk menghindari terjadinya dampak berantai (contageon effect) terhadap bank-bank lain yang pada gilirannya menimbulkan risiko yang lebih besar terhadap sistem perbankan secara keseluruhan (systematic risk).

KEBIJAKAN PEMULIHAN PERBANKAN
Dengan terus menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan kian meningkatnya penarikan dana masyarakat dari perbankan disamping bertambahnya jumlah non performing assets terutama portofolio kredit bank (non performing loan), semakin memperburuk kondisi perbankan. Jumlah bank yang mengalami kesulitan semakin bertambah yang berakhir dengan pengambilalihan atau bank take over (BTO), pembekuan kegiatan operasional (BBO) atau bank beku kegiatan usaha (BBKU).
Menyadari bahwa krisis yang terjadi telah semakin memburuk, pemerintah mempercepat dan memperluas cakupan program stabilisasi reformasi ekonomi dengan melakukan penandatanganan memorandum kesepakatan (letter of intent) dengan IMF pada tanggal 15 Januari 1998. Khusus untuk moneter, pemerintah mengarahkan kebijakan pada upaya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada perbankan.

PROGRAM PENJAMINAN TERHADAP KEWAJIBAN PERBANKAN
Dalam ragka usaha pemulihan kepercayaan para deposan dan kreditur baik dalam negeri maupun luar negeri terhadap sistem perbankan Indonesia dan dalam rangka membangun kembali sistem perbankan yang sehat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pemerintah menetapkan untuk melaksanakan program yang komprehensif pemulihan sistem perbankan. Program ini meliputi dua unsur utama, yaitu. Pertama, penyediaan jaminan penuh oleh pemerintah kepada seluruh nasabah deposan dan kreditur bank umum nasional. Kedua, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Nasional. Program penjaminan ini pada dasarnya adalah pemerintah menjamin seluruh dana masyarakat deposan dan kreditur bank yang berbadan hukum Indonesia dijamin pengembaliannya oleh pemerintah. Jaminan berlaku atas kewajiban baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing. Pengecualian terhadap jaminan tersebut berlaku sama untuk bank swasta maupun bank pemerintah. Jaminan tersebut berlaku pula untuk bank-bank yang sedang dalam proses restrukturisasi (merger, akuisisi, konsolidasi dan sebagainya).

PEMBENTUKAN BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL (BPPN)
Dalam rangka mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh gejolak moneter dan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat khususnya terhadap sistem perbankan nasional, pemerintah telah memberikan jaminan terhadap kewajiban pembayaran bank umum kepada seluruh deposan dan kreditur sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998. Sebagai pelaksanaan jaminan pemerintah terhadap kewajiban bank tersebut di atas, maka dalam rangka pengawasan, pembinaan dan upaya penyehatan bank, dibentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada tanggal 27 Januari 1998 dengan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 yang kemudian dikukuhkan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Sebagai tindak lanjut dari pendirian BPPN, pihak BPPN dan Bank Indonesia sebagai pengawas bank telah bekerjasama menetapkan suatu kebijakan strategis yang komprehensif dalam penyehatan bank. Penjabaran kebijakan tersebut dilakukan sejalan dengan jaminan yang telah diberikan pemerintah atas keamanan dana para deposan dan kreditur bank.

PROGRAM REKAPITALISASI PERBANKAN
Program restrukturisasi yang merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memulihkan kondisi perbankan yang terpuruk sebagai dampak dari krisis moneter yang berkepanjangan sehingga menjadi krisis ekonomi. Sejak berlangsungnya krisis eknonomi, sektor perbankan menghadapi berbagai masalah yang cukup serius. Pada akhir tahun 1997 dan awal 1998, seperti telah dijelaskan sebelumnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan merosot dengan pesat, para deposan dan penabung melakukan penarikan bersamaan (rush), bank-bank mengalami kesulitan likuiditas. Hal tersebut semakin meningkatkan ketidak percayaan masyarakat terhadap perbankan yang jelas dapat menjurus kepada runtuhnya sistem perbankan nasional, yang pada gilirannya akan mengakibatkan macetnya sistem pembayaran dan perekonomian. Untuk menghindari kemungkinan itu, maka pada akhir Januari 1998 ditempuh kebijakan penyelamatan dengan memberikan jaminan kepada para penabung, deposan dan kreditur bank. Dengan kebijakan ini maka bank-bank yang mengalami likuiditas dapat meminta bantuan likuiditas dari Bank Indonesia (BLBI).

Tahapan rekapitulasi. Tahapan-tahapan dalam rangka pelaksanaan program rekapitulasi meliputi pemeriksaan kondisi keuangan bank (due diligence), pengelompokan bank atas dasar kondisi permodalannya, penilaian terhadap rencana kerja (business plan) bank, penilaian fit and proper test pemegang saham pengendali dan pengurus bank, serta penyetoran modal dan pengikatan perjanjian bagi bank-bank yang memenuhi persyaratan.